KAFEHUKUM.COM – Sejak dulu, masalah “Tanah” merupakan persoalan yang cukup menyita perhatian, khususnya oleh pemerintah daerah. Apalagi, mayoritas penduduk Indonesia yang notabene bermata pencaharian sebagai petani, membutuhkan lahan pertanian yang tidak lepas dari makna tanah itu sendiri. Bahkan, pada masa penjajahan, tanah atau yang dikenal sebagai “Agrarische Wet” merupakan salah satu dari sekain banyak persoalan yang diperebutkan.
Masalah pertanahan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada 24 September 1960 oleh Presiden R.I Sukarno, termasuk di dalamnya terdiri dari:
Buku Pertama mengenai
- BAB I: Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokok
- BAB II: Hak-hak atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah
- BAB III: Ketentuan Pidana
- BAB IV: Ketentuan-ketentuan Peralihan
Buku Kedua mengenai Ketentuan-ketentuan Konversi.
Jual Beli adalah merupakan perbuatan Hukum Keperdataan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata/Burgerlijk Wetbook) biasa dikenal dengan sebutan BW. Di dalam ketentuan Pasal 1320 BW, sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Pokok persoalan tertentu
- Suatu sebab yang tidak dilarang.
Dalam Hukum Jual Beli, terdapat pihak yang disebut sebagai penjual dan pembeli. Sebelum dilangsungkannya akivitas jual beli, tentunya keempat syarat di atas harus dipenuhi terlebih dahulu. Apabila tidak dipenuhi, maka jual beli yang dilakukan dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum, termasuk juga dalam haljual beli Tanah.
Di dalam ketentuan UUPA diatur mengenai Hak Milik atas tanah yang merupakan Hak Turun Temurun, terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, serta dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Singkatnya, legalitas tanah dapat berupa Sertifikat Hak Milik (SHM).
Maraknya kasus penipuan, pemalsuan terhadap Dokumen SHM menjadikan seseorang memiliki prinsip kehati-hatian. Terutama, apabila hendak melakukan jual beli tanah. Jangan sampai Anda menjadi korban tindak kejahatan tersebut.
Berikut langkah-langkah antisipasi:
Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 mengenai “Pembeli Beritikad Baik” sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 09 Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
Kriteria pembeli beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah sebagai berikut:
a) Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/ prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
- Pembelian tanah melalui pelelangan umum;
- Pembelian tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997) atau;
- Pembelian terhadap tanah milik adat/ yang belum terdaftar dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat;
- Dilakukan secara tunai dan terang (dihadapan/ diketahui oleh Kepala Desa/ Lurah setempat);
- Didahului dengan penelitian status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual; Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
b) Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:
- Penjual adalah orang yang berhak/ memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli sesuai bukti kepemilikannya;
- Tanah/ objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
- Terhadap objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/ Hak Tanggungan;
- Terhadap tanah yang telah bersertifikat telah memperoleh keterangan BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.
Di kota besar seperti Pulau Jawa, hampir sebagian besar tanah telah dilengkapi dengan alas hak berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, di beberapa daerah luar Jawa ternyata masih banyak ditemui tanah-tanah yang belum bersertifikat, seperti di Sumatra, Bangka Belitung, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku maupun Papua.
Di Belitung Timur, masyarakat masyarakat mengenal istilah Surat Keterangan Tanah (SKT). Adapun SKT merupakan alas hak yang dipakai oleh masyarakat untuk menguasai, mengusahakan, mengelola bahkan dapat diperjualbelikan. Namun, ini telah berlangsung lama dan menjadi kebiasaan setempat secara turun-temurun.
Legal atau Ilegal?
Indonesia menganut asas Legalitas, di mana tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam pidana jika belum diatur dalam undang-undang, serta tidak boleh berlaku surut. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 oleh Presiden R.I Sukarno.
Pada prinsipnya negara tidak melarang penjualan terhadap Hak Atas Tanah yang belum bersertifikat. Namun perlu diketahui, seorang penjual sebagai pemegang dokumen alas hak tanah yang belum bersertifikat secara yuridis belum mendapatkan pengakuan dari negara selama belum dilakukan Pendaftaran Tanah pertama kali melalui lembaga yang berwenang, yakni BPN. Setelah keluar SHM, maka secara hukum, nama yang tercantum dalam SHM merupakan Pemilik yang Absah. Di sinilah tujuan hukum tercapai, yakni dengan adanya kepastian hukum mengenai hak atas tanah.
Oleh karenanya, jual beli Tanah yang belum bersertifikat sebaiknya dihindari, guna meminimalisasi adanya kerugian maupun penipuan di kemudian hari. Semoga tulisan ini dapat dijadikan pedoman maupun informasi seputar hukum yang berguna sekaligus bermanfaat bagi pembaca.(YJ)